RUMAH KONTRAKAN ARDI
Kumpulan Situs Judi Online Terpercaya - Paginya, Ece masuk ke kamar dengan memakai baju daster yang sangat minim. Bulatan payudaranya seperti mau tumpah saja karena saking ketatnya pakaian itu. Aku yang awalnya masih ngantuk, kontan langsung melek karena tertarik. Tapi.badanku juga terlalu capek untuk melayaninya setelah semalaman main dengan Mitha. Maka aku pun berguling untuk sedikit menyembunyikan tonjolan penisku yang ngaceng setiap pagi.
“Heh, ayo bangun. Sudah siang,” Ece berjalan ke tempat tidurku dan dengan satu gerakan cepat menarik selimut yang aku pakai.
Mau tidak mau, penisku pun jadi terekspos dengan jelas. Segera aku berusaha menutupinya dengan menggunakan tangan.
Ece tersenyum melihatku yang tidur telanjang dan langsung mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk penisku sambil berbisik, “Kayaknya inimu perlu diurus deh,”
Dia duduk di tempat tidur dan mengulurkan tangan memegangi penisku. Tanganku disingkarkannya untuk diganti dengan miliknya. Aku menatapnya dan perlahan melenguh pelan saat Ece mulai meremas-remasnya ringan.
“Mitha mana, Ce?” aku bertanya takut-takut karena aku memang masih berada di kamar Mitha.
Tindakan Ece saat ini sungguh sangat berani. Bagaimana kalau kami sampai dipergoki?
“Tenang saja, Mitha lagi mandi.” jawab Ece santai.
“kita punya waktu sekitar sepuluh menit.” Dia terus membelai penisku hingga menjadikannya semakin bertambah kencang dan keras.
“Hmm, kalau saja suamiku punya kontol seperti milikmu, Ar.” gumamnya penuh harap.
Aku menatapnya dan berkata,
“Emang punya suami Ece kayak gimana?” tanyaku penasaran.
Dia tersenyum dan menjawab, “Gede sih, tapi nggak sekeras punyamu. Padahal aku sukanya yang keras kaku gini, Ar.” Aku hanya tersenyum, santai.
“Ece boleh kok makek punyaku kapan saja,” Dan dengan beberapa kocokan berikutnya, aku pun menyemburkan air maniku ke seluruh tangan dan lengannya.
“Lho, Ar, kok udah keluar sih? Aku.kan belum…” rengeknya terkejut.
“Tenang, Ce, bisa dilanjut nanti. Kalo sekarang takutnya keburu Mitha keluar,” aku beralasan.
Ece membungkuk dan mengangguk mengerti. Ia kemudian mencium kedua pipiku, juga batang penisku yang masih belepotan sperma sebelum kemudian berdiri untuk pergi ke ruang tamu agar tidak dicurigai. Sedangkan aku segera mengambil tisu untuk kugunakan menyerap semua cairanku. Tak lama, Mitha keluar dari kamar mandi.
“Heh, pagi-pagi udah pegang-pegang penis,” tegurnya sambil tersenyum.
Gadis itu membalut tubuh sintalnya hanya dengan menggunakan handuk kecil.
“Iya nih, selalu gak tahan kalau dekat-dekat kamu,” kataku berkilah.
Mitha tertawa dan melepas handuknya. Tanpa rasa risih ia memamerkan tubuh telanjangnya di depanku saat berganti pakaian. Aku hanya bisa menatap dengan kagum, namun sudah tidak bisa ngaceng lagi karena isinya sudah dikuras oleh Ece.
Untung Mitha tidak curiga.
“Cepetan mandi sana, Mas.” Mitha berkata sambil memasang beha merah marun di depan bulatan payudaranya yang sintal.
“Kamu udah enakan, kok udah berani mandi?” tanyaku ketika beranjak dari tempat tidur.
“Sudah lumayan,” jawabnya.
“Lagian, badan rasanya lengket semua karena kena pejuh mas Ardi.” Dia tertawa.
“Habis kamu sih selalu menggodaku.” Aku bergegas mendekatinya dan mencium pipinya, sementara tanganku beranjak untuk mencubit puting susunya yang masih belum tertutup rapat. Benda merah gelap terasa begitu lembut saat kupilin-pilin dengan menggunakan dua jari.
Mitha hanya menjawab, “Sudah ah, Mas. Nggak bosen apa?” Namun dia tetap membiarkan tanganku bermain-main di sana.
Bahkan yang ada, ia dengan manja menyandarkan tubuh sintalnya ke dadaku, membuatku jadi semakin leluasa mempermainkan bulatan payudaranya,
Hampir saja kami kebablasan kalau saja tidak mendengar suara Ece yang memanggil dari arah depan. Mitha segera membenahi pakaiannya, sementara aku dengan pura-pura panik berusaha memakai celana.
“Cuci muka dulu sana, Mas, baru setelah itu kita temui Ece.” kata Mitha.
“Apa nanti dia nggak curiga,” tanyaku.
“Emang kenapa?” Mitha bertanya balik.
“Biar aja dia tahu kalau malam.tadi mas Ardi tidur di sini. Aku pingin tahu, kira-kira Ece bakal cemburu nggak ya?”
Aku nyengir, “Huh, dasar kamu!” Kucium pipinya sekilas sebelum aku beranjak pergi ke kamar mandi.
Setelah membenahi muka dan penampilan, bersama dengan Mitha, aku pun keluar menemui Ece. Kakak Mitha itu ternyata sudah ada di dapur sedang memasak air.
“Lho, Ardi?” Ece pura-pura kaget, pintar juga dia.
“Iya, Ce.” Aku tersenyum.malu.
“Ngapain, kak?” tanya Mitha sambil menggelayut manja di pundakku.
“Ini, mau bikin teh hangat. Tapi kulihat, kamu kayaknya udah baikan.” kata Ece begitu melihat paras Mitha yang tampak menyenangkan dan berseri-seri di pagi ini.
“Ini semua berkat perawatan mas.Ardi,” jelas Mitha,
Ece mengucapkan terima kasih dan memintaku untuk tinggal sebentar, tapi aku terpaksa harus menolaknya karena harus berangkat kerja.
***
Sorenya, aku langsung pergi ke rumah Mitha. Namun ternyata dia sedang kuliah, biasanya jam 10 baru pulang. Terpaksa aku balik ke rumahku dengan lesu. Untunglah tak lama kemudian ada sms yang sedikit membuatku bersemangat.
Dari Siska.
“Ar, bisa ke rumah bentar?” tanyanya.
“Bisa, memang ada perlu apa, Sis?”
“Nggak penting sih. Tapi, kamu kan sudah tiga hari nyuekin aku. Nggak kangen apa?”
Aku tertawa, dan tanpa perlu repot- repot membalas segera beranjak ke rumahnya. Aku tahu kalau malam ini Anton pulang telat, dia tadi pamit lembur kepadaku. Mungkin karena itu Siska berani mengundang diriku.
“Ada apa, Sis?” tanyaku sambil melangkah masuk dari ruang tamu menuju dapur. Pintu rumah Siska tidak dikunci dan kudengar ada suara dari dapur. Setelah kemarin-kemarin sibuk dengan Ece dan Mitha, aku jadi gak sabar pengen meluk dia lagi.
Namun senyumku langsung menghilang dan kurasakan wajahku memanas begitu mengetahui siapa yang berada di sana. Tampak Ece dengan senyum kecilnya yang begitu menggoda, berdiri di samping Siska yang seperti pura-pura tidak tahu.
Mereka sedang membikin nasi goreng sambil menunggu kedatanganku.
“Sini, Ar, masuk. Aku sudah lama nungguin kamu!” Siska
melambaikan tangannya.
Dia mengenakan t-shirt polos dan celana pendek longgar untuk digunakan membungkus tubuhnya yang tinggi langsing, sementara Ece tampak bulat dan menggoda seperti biasanya dengan daster kembang-kembang tipis yang ia kenakan.
‘Ada apa ini?’ aku bertanya dalam hati. Dua wanitaku berada dalam satu ruangan dan seperti menungguku, pasti ada apa-apanya.
Dan sepertinya memang mereka sudah merencanakan sesuatu.
Berusaha untuk tersenyum, kutatap Ece dan Siska secara bergantian. Sebelum kemudian pandanganku turun ke bulatan payudara Siska yang nampak tegang di balik t-shirt nya. Apa istri Anton itu tidak memakai bra? Karena bisa kulihat dengan jelas tonjolan putingnya.
Ece tertawa yang melihatku berlama-lama menatap payudara Siska.
“Sudah, nanti kelilipan lho,”
ingatnya. Siska tersenyum dan menatap padaku, “Udah kangen pengen megang ya?” candanya, yang langsung membuat mukaku bersemu merah,
“Ih, apaan sih.” Aku berusaha berpaling, sementara Ece dan Siska tertawa secara bersamaan.
“Sabar, Ar. Kita makan dulu.” kata Ece.
Aku terkejut mendengar suaranya yang begitu tenang, juga sambil berjalan cepat, ia memberikanku ciuman ringan di pipi. Benar-benar tak terduga. “Ece!” Membuatku jadi tambah malu.
Siska kembali tertawa, sementara Ece balik duduk di kursi dapur dengan menumpangkan kaki. Daster pendek yang ia kenakan jadi naik ke pinggulnya, Ece seperti sengaja memamerkan belahan pahanya yang putih mulus kepadaku, bahkan bulatan pantatnya juga terlihat jelas, semakin membuatku sesak napas.
Siska yang menyadari aku sedang melirik kaki Ece, hanya tersenyum pendek. Sebuah senyum misterius yang aku bisa menebak apa maknanya, sepertinya dia ingin memberi kejutan kepadaku.
Merasa santai, sekali lagi mataku menelusuri lekuk payudara Ece, juga perut dan pantatnya sebelum dengan cepat berpaling pada Siska, mencoba untuk membandingkannya. Kedua wanita itu memiliki keindahan dan keunggulan masing-masing, membuatku tidak bisa memutuskan mana yang lebih menarik.
“Bentar ya, kuambilkan saos sambal di rumah.” kata Ece sambil berdiri dan menekan sedikit tonjolan payudaranya ke bahuku saat kami berpapasan. Putingnya terasa sedikit menonjol, dan dengan senyum ceria, ia keluar dari ruangan. Pantat bulatnya tampak bergoyang indah seiring setiap langkahnya. Siska menatapku, dan matanya ikut melebar saat melihat bagian belakang tubuh Ece Geulis yang seksi.
“Tubuhnya bikin ngaceng ya,” Siska berbisik.
Aku langsung menoleh. “Eh… apa?” tanyaku tergagap, kaget dengan tanggapannya.
“Ece seksi,” Siska menyandar di tubuhku. Jari-jarinya melingkar di perutku dan dengan nakal ia menekan bulatan payudaranya di lengannya. Kulitnya terasa hangat, dan baru kusadari kalau seluruh tubuhnya memerah oleh keinginan bersetubuh denganku, membuatku jadi merasa bersalah.
“Maaf ya, Sis… tiga hari ini aku nggakngunjungin kamu.”
Tanganku meluncur untuk meraba tonjolan buah dadanya, juga belahan pantatnya yang luar biasa dan vagina cantik yang belum pernah dipakai untuk melahirkan.
Siska menggelinjang. “Ar! Ahh…” Dia tersentak dan tampak kesulitan untuk bernapas, bibirnya berada dekat di telingaku. Siska balas menggelincirkan tangan ke bawah, melewati ikat pinggangku, dan meremas batangku yang berada di baliknya.
“A-aku… kangen ini, Ar!” bisiknya menggoda.
“Aku juga rindu tubuhmu, Sis,” balasku sambil mengecup ringan bibirnya.
“Bagaimana dengan tubuh Ece, apa kau juga menyukainya?” tanya Siska mengagetkan.
“A-apa… Ece?” tanyaku gagap. Siska tersenyum dan mengangguk.
“Kalau disuruh milih, kau pilih yang mana… aku apa Ece?”
Aku sulit untuk berpikir.
Selain keduanya sama-sama cantik dan seksi, juga karena aliran darahku yang memompa semakin deras akibat belaian jari-jemari Siska di batang penisku.
“Itu… engg… antara Ece sama kamu… ah, m-maksudmu apa, Sis? Aku nggak ngerti,”
“Bagaimana menurutmu, Ar?” Siska berbisik mendengkur.
“Mumpung suami-suami kita lagi nggak ada, bagaimana kalau kita main bertiga? Aku, Ece, sama kamu.” Siska tersenyum.
Tiba-tiba dia berubah serius dan menatap mataku,
“Kecuali kalau kamu nggak ingin…”
“Gila apa?!” aku tertawa, “mana mungkin aku menolak. Tapi, kamu serius kan?”
Siska mengangguk.
“Sudah sejak lama aku mimpiin ini, Ar. Main bertiga sama wanita lain, membagi tubuhmu untuk dinikmati bersama, dan kupikir wanita yang tepat itu adalah Ece.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Segera kurangkul tubuh mulus Siska dan kuberi dia ciuman bertubi-tubi sampai Ece Geulis datang tak lama kemudian. Kami segera melepaskan pelukan dan pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Ece memberikan saos miliknya dan Siska meneruskan memasak nasi goreng, sementara aku duduk di ruang tengah menunggu mereka selesai.
Ece duduk membungkuk di sebelahku, kakinya ditekuk ke sandaran kursi. Kami baru saja selesai makan dan sambil tersenyum, Siska menarik tubuhku ke arahnya. Sementara Siska memelukku, aku melirik untuk mengintip lipatan basah vagina Ece yang terlihat jelas. Benda itu tampak menggoda sempurna karena dibingkai oleh sepasang paha yang sangat mulus dan indah.
“Sekarang,” kata Ece sambil mendongak dari acara televisi yang sedang kita tonton, “apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” Sepertinya dia ingin menagih janji Siska untuk berbagi tubuhku.
Siska yang sudah tidak bisa menahan diri, segera tersenyum dan menarik salah satu tali daster Ece ke bawah.
“Pertama-tama, kita
lepas baju dulu.” ujarnya sambil menampakkan bulatan payudara Ece yang bergoyang indah.
Karena tidak berkutang, Ece jadi benar-benar setengah telanjang sekarang. Payudaranya yang besar terlihat berat, yang sepertinya membuat Siska menjadi iri. Benda itu tampak melambung dan bergoyang-goyang begitu Ece tertawa menanggapi kenakalan Siska. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan seperti bergetar oleh hembusan angin dingin di luar yang masuk melalui celah jendela.
“Ih, kok cuma aku?” kata Ece sambil tersenyum.
Siska masih tertawa, sementara mulutku menganga menatap.
Mataku tidak bisa memutuskan mana yang lebih indah, yang kanan atau yang kiri? Karena kedua payudara Ece sama-sama indah dan menarik bagiku.
“Ar,” kata Siska, mengabaikanku yang melompat kaget begitu mendengar suaranya.
“Minggir dikit dong!”
“I-iya,” sahutku terengah-engah, tak tahu apa yang ia inginkan.
Siska bergeser melangkahiku untuk mendekati Ece. Begitu sudah bersebelahan, secara mengejutkan ia meluncurkan mulutnya ke bibir tipis Ece yang tampak menggoda dan langsung membungkam apa pun yang akan Ece katakan dengan sebuah lumatan rakus yang sangat panas. Aku terbelalak, apalagi saat kulihat satu tangan Siska menyentuh rambut gelap Ece, sementara yang lain meremas keras di salah satu bulatan payudara perempuan cantik itu.
“Hmph…” Ece mengerang. Tubuh setengah telanjangnya hangat menempel di tubuh Siska, terlihat lentur dan sangat pasrah.
“Hggh…” Siska menggeram jauh di dalam tenggorokannya dan menarik kepala Ece lebih keras lagi. Mereka berciuman dengan lebih panas dan penuh gairah. Tangan Siska meremas dan menarik kuat payudara Ece, memunculkan rengekan nikmat diantara pagutan bibir mereka berdua.
Tangan Ece balas menari di sepanjang punggung Siska, menemukan tepi t-shirt Siska dan segera melepasnya agar bisa menggaruk kulit Siska yang mulus telanjang. Terengah-engah, Siska melepas ciumannya, ia menarik diri cukup jauh untuk melihat mata Ece yang melebar liar oleh keinginan.
“Mau dilanjut?” tanya Siska menggoda sambil melirikku.
“Lakukan, Sis! Oughh…” jawab Ece terengah-engah.
“Aku ingin lebih. Aku mau tubuhmu, juga kontolmu,
Ar!” Ece menoleh padaku.
Siska berpaling menghadapku. Aku mengangkat bahu tanda menyerah. Apapun yang diinginkan oleh kedua perempuan itu, aku akan memberikannya.
“Gimana, Ar?” Siska bertanya dengan suara parau.
“Terserah kalian aja,” jawabku penuh nafsu.
“Asyik,” Ece mendengkur senang.
“Iya, Ce,” aku ikut mengerang.
“Kamu suka lihat kami barusan, Ar?” bisik Siska parau.
“Pingin nglihat yang lebih panas lagi?” tawarnya menggoda.
Aku hanya mengangguk pelan, mataku sama sekali tak beralih dari tubuh mulus mereka berdua. Siska tersenyum dan meraih tubuh montok Ece yang menggigil hangat.
Perlahan-lahan ia memutarnya hingga Ece kini menghadap tepat ke arahku. Ece melengkungkan punggungnya untuk menampilkan tonjolan payudaranya yang sangat besar. Aku menatap tak berkedip begitu Siska meluncurkan tangan ke kulit mulus Ece.
“Aghh… Sis!” Ece langsung mengerang saat Siska menangkup kedua payudaranya dan meremas- remasnya gemas. Ibu jarinya menggoda puting susu Ece yang mungil kemerahan, membuat Ece jadi makin merintih dan bersandar pasrah.
“Susumu empuk, Ce,” Siska berbisik.
Dia mengamati saat dengan mata melebar, aku memandangi tubuh montok Ece. Bisa kulihat tubuh Ece bergetar saat tangan Siska terus membelai lembut dirinya.
“Kamu suka, Ar?” Siska bertanya dengan jari-jari meluncur turun ke perut Ece.
“Kamu suka lihat aku
giniin Ece?”
“I-iya, Sis,” aku mengangguk.
“Ece tahu, apalagi yang Ardi suka?”
Siska mendesah di telinga Ece.
“A-apa?” Ece merintih.
“Ardi ingin menonton kita saling menjilat, Ce.” Siska menggeram.
“Ah, i-iya,” Ece tampak kesulitan untuk bernapas.
“Sini, mana yang harus kujilat?” Ece meluncur berlutut dan berbalik menghadap Siska.
“Yang ini ya?” Ece memohon.
“Memekmu ini ya?”
Siska tersenyum dengan napas terengah-engah berat.
Ditatapnya Ece yang sekarang berlutut di antara kedua kakinya. Aku berdiri di samping mereka, dengan penis sudah menegak keras di balik celana panjang. Mataku tertuju pada aksi mereka berdua.
“Sini, Ce.” Siska melangkah mundur dan menempatkan dirinya ke sofa.
Celananya dengan mudah meluncur turun, memperlihatkan bagian bawah tubuhnya yang kini telanjang bulat.
Ece tersenyum memandangi memek Siska yang sudah nampak basah dan berkeringat. Ia juga melirikku yang masih berdiri menatap dan tersenyum. Perlahan-lahan Ece merangkak dan menurunkan wajahnya di antara kedua kaki Siska, dan Siska kulihat bergetar begitu merasakan napas hangat Ece di lipatan vaginanya yang sudah sangat basah.
“Ayo, Ce, jilat!” desak Siska tak
tahan.
Ia mengamati ketika Ece mengabulkan permintaannya.
Tubuh istri Anton itu gemetar saat lidah hangat Ece mulai meluncur menyusuri liang vaginanya. Pinggul Siska melengkung dan ia menarik wajah Ece lebih dekat lagi. Saat dia melakukannya, Ece membenamkan wajahnya di antara kedua kaki Siska dan menjilat serta menghisap dengan lebih kuat lagi. Tak lama, ruang tengah pun sudah penuh oleh hiruk-pikuk kenikmatan yang penuh gairah.
“Terus!” teriak Siska. “Jilat terus memekku, Ce!” Dia mendongak menatapku yang tanpa sadar telah mencengkeram tonjolan di celana panjangku.
Siska tersenyum saat melihatku mulai membelai diri sendiri, sementara Ece membenamkan kepalanya semakin dalam di antara kedua pahanya.
“Hisap terus, Ce!” Siska mengerang.
“Jilat itilnya!” ia meminta. Ece menyibak lipatan memek Siska dengan menggunakan bibirnya hingga lidahnya bisa lebih leluasa bergerak di sepanjang dagingnya yang licin.
“Aduh… aduduh!” tubuh Siska bergetar, tangannya menarik wajah Ece lebih keras lagi, sementara pinggulnya semakin menggelinjang hebat.
“Lihat, Ar… Lihat bagaimana Ece menjilati memekku… rasanya nikmat banget… enaknya… oh, aduh… ketika dia… menjilatiku… menjilati memekku!” Semakin bersemangat, lidah Ece terus bergerak liar.
Ia mencucup dan menghisap semakin dalam ke liang vagina Siska yang sudah tak terkira basahnya.
“Oh, Ece,” Siska mengerang.
“Jangan berhenti… aku… ohh…aku…aku… k-keluaa…arrgghh!” Tubuh Siska bergetar.
Dia menjepitkan pahanya di sekitar kepala Ece, memegangi wajahnya perempuan itu hingga makin terkubur ke dalam liang vaginanya.
Saat dunia hilang dalam kabut yang membutakan, Siska menarik kuat rambut Ece, sementara tubuhnya meronta-ronta dalam orgasme yang seperti tiada berakhir. Sampai akhirnya, Siska runtuh kembali ke kursi sofa dengan tubuh masih sedikit gemetar.
Perlahan-lahan, napasnya melambat dan ia membuka mata untuk menatapku.
“Kamu suka pertunjukan ini, Ar?” Siska bertanya padaku.
“Sis,” aku mengerang. “I-ini… wow! S-sungguh hebat… kamu… ah, kalian berdua… tak kusangka…” Aku benar- benar bingung harus berkata apa.
“Mulut Ece benar-benar luar biasa, Ar,” Siska tersenyum.
“Kamu pasti nggak tahan kalau diemut sama dia. Sini, duduk sini. Biar Ece bisa nunjukin ke kamu.”
“I-iya,” aku mengangguk dengan mata melahap lapar melihat tubuh telanjang Ece. Ece cuma tersenyum saja padaku.
“Duduklah di sini,” kata Siska menunjuk tempat kosong di sampingnya. Aku segera menurunkan diri ke sana.
“Ayo, Ce, tunjukin ke Ardi,” Siska berkata.
“Berikan dia jilatanmu yang
yahud itu.” Ece tersenyum saat Siska membungkuk untuk membuka kancing celana panjangku, dan menariknya ke bawah untuk mengungkapkan kontol besarku yang sudah mengeras tegang di balik cd. Ece sedikit memalingkan matanya saat aku membalas tatapannya yang penuh nafsu.
Pelan dia melengkungkan punggungnya untuk menunjukkan kepadaku tonjolan payudaranya yang super besar dan memberiku senyum nakal yang sangat sensual.
Aku melompat sedikit-sedikit sambil meletakkan tangan di lutut saat Siska meluncurkan cd-ku sampai ke paha.
Sementara dia melakukannya, Ece segera meraih batang penisku yang sudah mengeras tajam dan setelah mengocoknya sebentar, ia langsung mengarahkan benda panjang itu ke arah mulutnya.
Siska tampak antusias saat menyaksikan bagaimana Ece menunduk sambil menggetarkan lidahnya untuk menyikat keras batangku. Penuh nafsu Ece mencicipi cairanku yang mulai mengalir keluar. Emutan dan jilatannya memang sungguh luar biasa. Meski sudah sering merasakannya, tak urung tetap membuatku mengerang dengan pinggul melengkung ke arahnya.
Siska tersenyum menikmati reaksiku. Ia membantu dengan melingkarkan jari-jari di sekitar batangku, melilit dan mengocoknya perlahan sementara Ece terus menjilatinya.
“Oh, nikmatnya,” aku mengerang.
Siska tersenyum ke arahku dan meletakkan tangannya yang lain di atas kepala Ece.
“Enak ya, Ar?” tanyanya sambil menyeringai.
“Nikmat banget, Sis,” aku mendesah.
“Terus… kocok dan jilat terus kayak gitu!”
Dengan mata terpejam, Ece terus mengangguk-anggukkan kepalanya naik-turun di batang penisku. Seiring setiap gerakannya, kurasakan hisapannya menjadi semakin dalam.
Siska yang tahu aku sangat menikmati jilatan itu, terus berusaha membantu dengan mendesak kepala Ece lebih ke bawah.
“Ambil semuanya, Ce. Masukin seluruh kontol Ardi ke dalam mulutmu.” Siska mendorong lebih keras dan mendengar Ece sedikit tersedak saat ujung penisku mendorong di tenggorokannya.
Ece mundur sejenak untuk menarik napas, namun membiarkan Siska mendorongnya kembali begitu aku mengerang karena kepingin.
Kugoyang pinggulku agar merasa lebih nikmat, kupenuhi wajah Ece dengan seluruh alat kelaminku. Ece terbatuk-batuk saat tenggorokannya kembali kutusuk-tusuk, namun kali ini tidak bisa menarik mundur karena Siska menahannya.
“Telan semua, Ce! Nggak akan kulepaskan sebelum seluruh kontol Ardi masuk ke dalam mulutmu.” kata Siska.
Ece mengerang seperti ingin memprotes, sementara aku menikmati saja ulah kedua perempuan itu dengan meremasi bulatan payudara mereka secara bergantian.
“Lakukan, Ce, ayo!” terdengar suara Siska saat aku asyik menetek di putingnya, kuhisap-hisap benda mungil sambil kupilin-pilin secara bergantian.
Terus memegangi rambutnya, Siska menarik kepala Ece naik sebelum kemudian menurunkannya lagi lebih keras. Ece sempat menarik napas sejenak agar tidak tersedak, barulah setelah itu dengan susah payah ia menelan seluruh penisku. Aku mendengus dan mengerang. Kuremas-remas payudara besar Ece yang berisi air susu dan kupilin-pilin putingnya sambil mulutku terus menghisap puting mungil Siska yang sebelah kiri.
“Oh… enak, Ce. Terus!” aku mengerang.
“Kamu suka, Ar?” Siska bertanya sambil menciumku, kemudian disuruhnya aku untuk menggarap putingnya lebih keras lagi.
Ece terus menghisap penisku untuk beberapa saat sebelum kemudian ia melepasnya. Terbatuk-batuk sebentar, wajah cantik Ece yang bersemu tampak jadi semakin mempesona. Perempuan itu terduduk lemas di bawah kakiku, deru napasnya masih terengah-engah.
“Mau siapa yang duluan, Ar?” Siska tersenyum bertanya kepadaku, tangannya dengan gemas meraih batang penisku dan meremas-remasnya ringan. Aku melihat ke bawah pada Ece.
“Kamu nggak keberatan kan, Sis, kalau kupakai Ece duluan?” tanyaku singkat.
“Silakan saja,” kata Siska, serak tapi tetap tersenyum.
“Aku akan menikmatinya, Ar. Lakukan apapun yang kamu suka.” Dia menyeringai jahat.
Melengkung seperti kucing, Ece segera berbalik dan mengangkat dirinya dengan bersandarkan pada tangan dan lutut. Ece menyajikan bulatan bokongnya kepadaku, menyuruhku untuk menusuknya dari arah belakang. Tak berkedip aku memperhatikan liang vaginanya yang sudah basah membengkak terjepit di antara belahan pahanya.
“Ayo, Ar.” Ece mendengkur.
“Memekku udah gatel nih, pingin digaruk sama kontolmu. Malah kalau kamu ingin, kamu juga bisa pake lubang pantatku. Yang penting cepat entotin aku!”
Aku melemparkan pandangan bertanya pada Siska. Istri Anton itu tersenyum dan mengangguk.
“Lakukan, Ar, nggak papa,” bisiknya. Dengan kata-kata itu, sambil tersenyum, aku pun berlutut di belakang tubuh montok Ece. Tanganku meraih pinggulnya dan dengan sekali tusukan, kumasukkan penisku ke dalam liang senggamanya. Ece merintih begitu ujung penisku mulai terdorong masuk. Dengan gerakan pinggulnya ia memanduku agar lancar dalam menyusuri liang vaginanya yang sudah sangat basah.
“Auw!” Ece menjerit saat aku mulai menggoyang perlahan untuk menyetubuhinya.
“Enak, Ce!” aku mengerang suka. Kupegangi bulatan payudaranya yang menggantung indah dan kuremas-remas gemas selama aku mengayun-ayunkan pinggul ke depan dan ke belakang.
“Iya, Ar,” Ece mengerang. “Ya, terus! Tusuk lebih keras, Ar. Lebih dalam!”
“Wow, wow!” desis Siska yang menonton dari sofa dengan mata melebar. Ia tampak menikmati persetubuhan kami berdua.
Aku terus menabrak bokong bulat Ece dengan napas mendengus, sementara Ece semakin kuat berteriak dan mendorong kembali pinggulnya dengan gerakan memutar cepat. Membuat penisku bagai dirajam dan dipijat-pijat oleh tangan halus selama dia melakukan itu.
“Oh, Ce,” aku mendengus.
“Kamu apakan kontolku?”
“Ya,” Ece melolong.
“biar kamu tau rasa,” Di belakangku, Siska terus menyaksikan perbuatan kami dengan takjub. Ia tampak suka melihat penisku yang bergerak keluar-masuk di vagina basah Ece, dan tanpa sadar membuatnya meluncurkan jari ke antara kedua kakinya. Pelan Siska mulai menggesek lembut biji klitorisnya yang sangat sensitif.
“Terus, Ar. Bikin dia KO!” Siska geram sementara jari-jarinya menari di permukaan klitorisnya.
“Tusuk lebih keras. Buat dia berteriak.”
“Kau ingin mendengarnya berteriak, Sis?” aku mengerang.
“Aku akan membuatnya berteriak.” Terengah-engah, aku menarik keluar batang penisku dari vagina basah Ece. Benda itu terasa mengejang dan berdenyut-denyut saat kualihkan sasaran ke lubang Ece yang lain.
“Tahan ya, Ce, aku mau masukin ke sini.” Kencang kucengkeram belahan pantatnya dan kubuka lebar-lebar agar lubang anusnya terlihat jelas.
Kuludahi sedikit dengan air liurku sebelum kemudian mulai menekan ujung penisku ke sana.
“Auw!” tubuh mulus Ece tersentak untuk sesaat, dan ia melengking saat aku berusaha terus mendorong.
“Pelan-pelan, Ar.” Ia merintih.
Kulihat perempuan itu mengepalkan tangannya untuk menahan rasa sakit. Dia tampak berjuang keras, sekeras usahaku yang tetap menekan kuat di lubang mungilnya.
Ece terdengar semakin merintih, namun tidak kupedulikan karena sebagian batang penisku sudah meluncur masuk sekarang.
Siska menatap tak berkedip. melihat betapa ketatnya lubang anus Ece yang berusaha kutembus.
“Perlahan-lahan aja, Ar.” bisiknya.
“Biar Ece bisa merasakan kontolmu yang gede itu di bokongnya.”
“Mauku juga begitu, Sis.”
Kukecup bibirnya dan aku kembali mendorong, penisku terasa semakin berdenyut cepat.
“Ouw!” Ece merintih. “Iya, Ar.
Kontolmu gede banget. Bokongku rasanya mau robek!”
Aku tersenyum dan dengan
perlahan terus mendorong semakin dalam. Ece merintih saat seluruh batangku sudah tenggelam sepenuhnya. Siska yang melihat aku sudah berhasil menembus, ikut tersenyum gembira. Sambil memberikan bulatan payudaranya kepadaku, ia menyuruhku untuk mulai menggoyang.
Ece terengah-engah seiring tekananku, kutarik kembali batang penisku dan kutenggelamkan lagi lebih dalam.
“Auw… Ar!” Ece mendesah. “Ya, terus kayak gitu…
ahh!” Dengan berirama, aku menyodok
lambat.
Terus kudorong batang penisku ke dalam pantatbulat Ece. Semakin lama semakin terasa nikmat, dan segera saja tusukanku menjadi semakin cepat. Ece mengerang saat ia mulai kudorong keras, lebih cepat dan lebih dalam lagi kujelajahi bagian sensitifnya.
“Ya begitu, Ar.” Siska mengerang, suaranya kental oleh nafsu.
“Terus tusuk pantatnya. Tusuk keras-keras untukku!” jeritnya.
Aku mulai mendorong liar, menjorok jauh di kedalaman tubuh bugil Ece.
“Ece suka?” aku mengerang sambil meremasi kedua bulatan payudaranya yang berbenturan.
“Iya, Ar. Terus!” rintihnya.
“Terus tusuk pantatku.”
“Lakukan, Ar,” Siska terengah-engah.
“Ooh… tusuk terus… ohhh, aku…!”
“Ece!” Kuberikan satu dorongan terakhir yang sangat kuat dan dalam, dan sambil mengerang, kusemburkan cairan maniku yang sudah kucoba tahan sedari tadi ke dalam pantat bulat Ece.
Perlahan-lahan aku mengundurkan diri begitu cairan kental itu sudah berhenti menetes. Ece runtuh ke karpet ruang tengah dengan napas terengah-engah, seluruh tubuhnya memerah dan bergetar. Sementara Siska terus merintih dengan tangan asyik menggesek di antara kedua kakinya. Kubantu istri Anton itu bermasturbasi dengan meremas-remas dan menjilati kedua putingnya, sampai kemudian Siska berteriak begitu bebannya terlepas.
Cairan orgasmenya menyembur kuat membasahi tubuh bugil Ece yang masih belum dapat bergerak.
Selanjutnya bertiga kami berangkulan di karpet ruang tengah dengan tangan menyentuh tubuh satu sama lain dan tersenyum dengan kesenangan yang aneh.
“Maaf, Ce, kalau tadi aku menyakitimu.” kataku ragu-ragu.
“Ah, enggak kok.” Ece tersenyum hangat.
“Aku malah enak. Malah, aku pengen lagi.”
Siska mendongak, “Tapi nanti ya, Ce. Aku kan belum ngerasain kontolnya Ardi.”
Ece tertawa. “Aku bisa menunggu kok,”
Aku tersenyum pada mereka
berdua.
“Oh, sepertinya aku harus
siap-siap capek nih.”
“Heh, ayo bangun. Sudah siang,” Ece berjalan ke tempat tidurku dan dengan satu gerakan cepat menarik selimut yang aku pakai.
Mau tidak mau, penisku pun jadi terekspos dengan jelas. Segera aku berusaha menutupinya dengan menggunakan tangan.
Ece tersenyum melihatku yang tidur telanjang dan langsung mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk penisku sambil berbisik, “Kayaknya inimu perlu diurus deh,”
Dia duduk di tempat tidur dan mengulurkan tangan memegangi penisku. Tanganku disingkarkannya untuk diganti dengan miliknya. Aku menatapnya dan perlahan melenguh pelan saat Ece mulai meremas-remasnya ringan.
“Mitha mana, Ce?” aku bertanya takut-takut karena aku memang masih berada di kamar Mitha.
Tindakan Ece saat ini sungguh sangat berani. Bagaimana kalau kami sampai dipergoki?
“Tenang saja, Mitha lagi mandi.” jawab Ece santai.
“kita punya waktu sekitar sepuluh menit.” Dia terus membelai penisku hingga menjadikannya semakin bertambah kencang dan keras.
“Hmm, kalau saja suamiku punya kontol seperti milikmu, Ar.” gumamnya penuh harap.
Aku menatapnya dan berkata,
“Emang punya suami Ece kayak gimana?” tanyaku penasaran.
Dia tersenyum dan menjawab, “Gede sih, tapi nggak sekeras punyamu. Padahal aku sukanya yang keras kaku gini, Ar.” Aku hanya tersenyum, santai.
“Ece boleh kok makek punyaku kapan saja,” Dan dengan beberapa kocokan berikutnya, aku pun menyemburkan air maniku ke seluruh tangan dan lengannya.
“Lho, Ar, kok udah keluar sih? Aku.kan belum…” rengeknya terkejut.
“Tenang, Ce, bisa dilanjut nanti. Kalo sekarang takutnya keburu Mitha keluar,” aku beralasan.
Ece membungkuk dan mengangguk mengerti. Ia kemudian mencium kedua pipiku, juga batang penisku yang masih belepotan sperma sebelum kemudian berdiri untuk pergi ke ruang tamu agar tidak dicurigai. Sedangkan aku segera mengambil tisu untuk kugunakan menyerap semua cairanku. Tak lama, Mitha keluar dari kamar mandi.
“Heh, pagi-pagi udah pegang-pegang penis,” tegurnya sambil tersenyum.
Gadis itu membalut tubuh sintalnya hanya dengan menggunakan handuk kecil.
“Iya nih, selalu gak tahan kalau dekat-dekat kamu,” kataku berkilah.
Mitha tertawa dan melepas handuknya. Tanpa rasa risih ia memamerkan tubuh telanjangnya di depanku saat berganti pakaian. Aku hanya bisa menatap dengan kagum, namun sudah tidak bisa ngaceng lagi karena isinya sudah dikuras oleh Ece.
Untung Mitha tidak curiga.
“Cepetan mandi sana, Mas.” Mitha berkata sambil memasang beha merah marun di depan bulatan payudaranya yang sintal.
“Kamu udah enakan, kok udah berani mandi?” tanyaku ketika beranjak dari tempat tidur.
“Sudah lumayan,” jawabnya.
“Lagian, badan rasanya lengket semua karena kena pejuh mas Ardi.” Dia tertawa.
“Habis kamu sih selalu menggodaku.” Aku bergegas mendekatinya dan mencium pipinya, sementara tanganku beranjak untuk mencubit puting susunya yang masih belum tertutup rapat. Benda merah gelap terasa begitu lembut saat kupilin-pilin dengan menggunakan dua jari.
Mitha hanya menjawab, “Sudah ah, Mas. Nggak bosen apa?” Namun dia tetap membiarkan tanganku bermain-main di sana.
Bahkan yang ada, ia dengan manja menyandarkan tubuh sintalnya ke dadaku, membuatku jadi semakin leluasa mempermainkan bulatan payudaranya,
Hampir saja kami kebablasan kalau saja tidak mendengar suara Ece yang memanggil dari arah depan. Mitha segera membenahi pakaiannya, sementara aku dengan pura-pura panik berusaha memakai celana.
“Cuci muka dulu sana, Mas, baru setelah itu kita temui Ece.” kata Mitha.
“Apa nanti dia nggak curiga,” tanyaku.
“Emang kenapa?” Mitha bertanya balik.
“Biar aja dia tahu kalau malam.tadi mas Ardi tidur di sini. Aku pingin tahu, kira-kira Ece bakal cemburu nggak ya?”
Aku nyengir, “Huh, dasar kamu!” Kucium pipinya sekilas sebelum aku beranjak pergi ke kamar mandi.
Setelah membenahi muka dan penampilan, bersama dengan Mitha, aku pun keluar menemui Ece. Kakak Mitha itu ternyata sudah ada di dapur sedang memasak air.
“Lho, Ardi?” Ece pura-pura kaget, pintar juga dia.
“Iya, Ce.” Aku tersenyum.malu.
“Ngapain, kak?” tanya Mitha sambil menggelayut manja di pundakku.
“Ini, mau bikin teh hangat. Tapi kulihat, kamu kayaknya udah baikan.” kata Ece begitu melihat paras Mitha yang tampak menyenangkan dan berseri-seri di pagi ini.
“Ini semua berkat perawatan mas.Ardi,” jelas Mitha,
Ece mengucapkan terima kasih dan memintaku untuk tinggal sebentar, tapi aku terpaksa harus menolaknya karena harus berangkat kerja.
***
Sorenya, aku langsung pergi ke rumah Mitha. Namun ternyata dia sedang kuliah, biasanya jam 10 baru pulang. Terpaksa aku balik ke rumahku dengan lesu. Untunglah tak lama kemudian ada sms yang sedikit membuatku bersemangat.
Dari Siska.
“Ar, bisa ke rumah bentar?” tanyanya.
“Bisa, memang ada perlu apa, Sis?”
“Nggak penting sih. Tapi, kamu kan sudah tiga hari nyuekin aku. Nggak kangen apa?”
Aku tertawa, dan tanpa perlu repot- repot membalas segera beranjak ke rumahnya. Aku tahu kalau malam ini Anton pulang telat, dia tadi pamit lembur kepadaku. Mungkin karena itu Siska berani mengundang diriku.
“Ada apa, Sis?” tanyaku sambil melangkah masuk dari ruang tamu menuju dapur. Pintu rumah Siska tidak dikunci dan kudengar ada suara dari dapur. Setelah kemarin-kemarin sibuk dengan Ece dan Mitha, aku jadi gak sabar pengen meluk dia lagi.
Namun senyumku langsung menghilang dan kurasakan wajahku memanas begitu mengetahui siapa yang berada di sana. Tampak Ece dengan senyum kecilnya yang begitu menggoda, berdiri di samping Siska yang seperti pura-pura tidak tahu.
Mereka sedang membikin nasi goreng sambil menunggu kedatanganku.
“Sini, Ar, masuk. Aku sudah lama nungguin kamu!” Siska
melambaikan tangannya.
Dia mengenakan t-shirt polos dan celana pendek longgar untuk digunakan membungkus tubuhnya yang tinggi langsing, sementara Ece tampak bulat dan menggoda seperti biasanya dengan daster kembang-kembang tipis yang ia kenakan.
‘Ada apa ini?’ aku bertanya dalam hati. Dua wanitaku berada dalam satu ruangan dan seperti menungguku, pasti ada apa-apanya.
Dan sepertinya memang mereka sudah merencanakan sesuatu.
Berusaha untuk tersenyum, kutatap Ece dan Siska secara bergantian. Sebelum kemudian pandanganku turun ke bulatan payudara Siska yang nampak tegang di balik t-shirt nya. Apa istri Anton itu tidak memakai bra? Karena bisa kulihat dengan jelas tonjolan putingnya.
Ece tertawa yang melihatku berlama-lama menatap payudara Siska.
“Sudah, nanti kelilipan lho,”
ingatnya. Siska tersenyum dan menatap padaku, “Udah kangen pengen megang ya?” candanya, yang langsung membuat mukaku bersemu merah,
“Ih, apaan sih.” Aku berusaha berpaling, sementara Ece dan Siska tertawa secara bersamaan.
“Sabar, Ar. Kita makan dulu.” kata Ece.
Aku terkejut mendengar suaranya yang begitu tenang, juga sambil berjalan cepat, ia memberikanku ciuman ringan di pipi. Benar-benar tak terduga. “Ece!” Membuatku jadi tambah malu.
Siska kembali tertawa, sementara Ece balik duduk di kursi dapur dengan menumpangkan kaki. Daster pendek yang ia kenakan jadi naik ke pinggulnya, Ece seperti sengaja memamerkan belahan pahanya yang putih mulus kepadaku, bahkan bulatan pantatnya juga terlihat jelas, semakin membuatku sesak napas.
Siska yang menyadari aku sedang melirik kaki Ece, hanya tersenyum pendek. Sebuah senyum misterius yang aku bisa menebak apa maknanya, sepertinya dia ingin memberi kejutan kepadaku.
Merasa santai, sekali lagi mataku menelusuri lekuk payudara Ece, juga perut dan pantatnya sebelum dengan cepat berpaling pada Siska, mencoba untuk membandingkannya. Kedua wanita itu memiliki keindahan dan keunggulan masing-masing, membuatku tidak bisa memutuskan mana yang lebih menarik.
“Bentar ya, kuambilkan saos sambal di rumah.” kata Ece sambil berdiri dan menekan sedikit tonjolan payudaranya ke bahuku saat kami berpapasan. Putingnya terasa sedikit menonjol, dan dengan senyum ceria, ia keluar dari ruangan. Pantat bulatnya tampak bergoyang indah seiring setiap langkahnya. Siska menatapku, dan matanya ikut melebar saat melihat bagian belakang tubuh Ece Geulis yang seksi.
“Tubuhnya bikin ngaceng ya,” Siska berbisik.
Aku langsung menoleh. “Eh… apa?” tanyaku tergagap, kaget dengan tanggapannya.
“Ece seksi,” Siska menyandar di tubuhku. Jari-jarinya melingkar di perutku dan dengan nakal ia menekan bulatan payudaranya di lengannya. Kulitnya terasa hangat, dan baru kusadari kalau seluruh tubuhnya memerah oleh keinginan bersetubuh denganku, membuatku jadi merasa bersalah.
“Maaf ya, Sis… tiga hari ini aku nggakngunjungin kamu.”
Tanganku meluncur untuk meraba tonjolan buah dadanya, juga belahan pantatnya yang luar biasa dan vagina cantik yang belum pernah dipakai untuk melahirkan.
Siska menggelinjang. “Ar! Ahh…” Dia tersentak dan tampak kesulitan untuk bernapas, bibirnya berada dekat di telingaku. Siska balas menggelincirkan tangan ke bawah, melewati ikat pinggangku, dan meremas batangku yang berada di baliknya.
“A-aku… kangen ini, Ar!” bisiknya menggoda.
“Aku juga rindu tubuhmu, Sis,” balasku sambil mengecup ringan bibirnya.
“Bagaimana dengan tubuh Ece, apa kau juga menyukainya?” tanya Siska mengagetkan.
“A-apa… Ece?” tanyaku gagap. Siska tersenyum dan mengangguk.
“Kalau disuruh milih, kau pilih yang mana… aku apa Ece?”
Aku sulit untuk berpikir.
Selain keduanya sama-sama cantik dan seksi, juga karena aliran darahku yang memompa semakin deras akibat belaian jari-jemari Siska di batang penisku.
“Itu… engg… antara Ece sama kamu… ah, m-maksudmu apa, Sis? Aku nggak ngerti,”
“Bagaimana menurutmu, Ar?” Siska berbisik mendengkur.
“Mumpung suami-suami kita lagi nggak ada, bagaimana kalau kita main bertiga? Aku, Ece, sama kamu.” Siska tersenyum.
Tiba-tiba dia berubah serius dan menatap mataku,
“Kecuali kalau kamu nggak ingin…”
“Gila apa?!” aku tertawa, “mana mungkin aku menolak. Tapi, kamu serius kan?”
Siska mengangguk.
“Sudah sejak lama aku mimpiin ini, Ar. Main bertiga sama wanita lain, membagi tubuhmu untuk dinikmati bersama, dan kupikir wanita yang tepat itu adalah Ece.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Segera kurangkul tubuh mulus Siska dan kuberi dia ciuman bertubi-tubi sampai Ece Geulis datang tak lama kemudian. Kami segera melepaskan pelukan dan pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Ece memberikan saos miliknya dan Siska meneruskan memasak nasi goreng, sementara aku duduk di ruang tengah menunggu mereka selesai.
Ece duduk membungkuk di sebelahku, kakinya ditekuk ke sandaran kursi. Kami baru saja selesai makan dan sambil tersenyum, Siska menarik tubuhku ke arahnya. Sementara Siska memelukku, aku melirik untuk mengintip lipatan basah vagina Ece yang terlihat jelas. Benda itu tampak menggoda sempurna karena dibingkai oleh sepasang paha yang sangat mulus dan indah.
“Sekarang,” kata Ece sambil mendongak dari acara televisi yang sedang kita tonton, “apa yang akan kita lakukan selanjutnya?” Sepertinya dia ingin menagih janji Siska untuk berbagi tubuhku.
Siska yang sudah tidak bisa menahan diri, segera tersenyum dan menarik salah satu tali daster Ece ke bawah.
“Pertama-tama, kita
lepas baju dulu.” ujarnya sambil menampakkan bulatan payudara Ece yang bergoyang indah.
Karena tidak berkutang, Ece jadi benar-benar setengah telanjang sekarang. Payudaranya yang besar terlihat berat, yang sepertinya membuat Siska menjadi iri. Benda itu tampak melambung dan bergoyang-goyang begitu Ece tertawa menanggapi kenakalan Siska. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan seperti bergetar oleh hembusan angin dingin di luar yang masuk melalui celah jendela.
“Ih, kok cuma aku?” kata Ece sambil tersenyum.
Siska masih tertawa, sementara mulutku menganga menatap.
Mataku tidak bisa memutuskan mana yang lebih indah, yang kanan atau yang kiri? Karena kedua payudara Ece sama-sama indah dan menarik bagiku.
“Ar,” kata Siska, mengabaikanku yang melompat kaget begitu mendengar suaranya.
“Minggir dikit dong!”
“I-iya,” sahutku terengah-engah, tak tahu apa yang ia inginkan.
Siska bergeser melangkahiku untuk mendekati Ece. Begitu sudah bersebelahan, secara mengejutkan ia meluncurkan mulutnya ke bibir tipis Ece yang tampak menggoda dan langsung membungkam apa pun yang akan Ece katakan dengan sebuah lumatan rakus yang sangat panas. Aku terbelalak, apalagi saat kulihat satu tangan Siska menyentuh rambut gelap Ece, sementara yang lain meremas keras di salah satu bulatan payudara perempuan cantik itu.
“Hmph…” Ece mengerang. Tubuh setengah telanjangnya hangat menempel di tubuh Siska, terlihat lentur dan sangat pasrah.
“Hggh…” Siska menggeram jauh di dalam tenggorokannya dan menarik kepala Ece lebih keras lagi. Mereka berciuman dengan lebih panas dan penuh gairah. Tangan Siska meremas dan menarik kuat payudara Ece, memunculkan rengekan nikmat diantara pagutan bibir mereka berdua.
Tangan Ece balas menari di sepanjang punggung Siska, menemukan tepi t-shirt Siska dan segera melepasnya agar bisa menggaruk kulit Siska yang mulus telanjang. Terengah-engah, Siska melepas ciumannya, ia menarik diri cukup jauh untuk melihat mata Ece yang melebar liar oleh keinginan.
“Mau dilanjut?” tanya Siska menggoda sambil melirikku.
“Lakukan, Sis! Oughh…” jawab Ece terengah-engah.
“Aku ingin lebih. Aku mau tubuhmu, juga kontolmu,
Ar!” Ece menoleh padaku.
Siska berpaling menghadapku. Aku mengangkat bahu tanda menyerah. Apapun yang diinginkan oleh kedua perempuan itu, aku akan memberikannya.
“Gimana, Ar?” Siska bertanya dengan suara parau.
“Terserah kalian aja,” jawabku penuh nafsu.
“Asyik,” Ece mendengkur senang.
“Iya, Ce,” aku ikut mengerang.
“Kamu suka lihat kami barusan, Ar?” bisik Siska parau.
“Pingin nglihat yang lebih panas lagi?” tawarnya menggoda.
Aku hanya mengangguk pelan, mataku sama sekali tak beralih dari tubuh mulus mereka berdua. Siska tersenyum dan meraih tubuh montok Ece yang menggigil hangat.
Perlahan-lahan ia memutarnya hingga Ece kini menghadap tepat ke arahku. Ece melengkungkan punggungnya untuk menampilkan tonjolan payudaranya yang sangat besar. Aku menatap tak berkedip begitu Siska meluncurkan tangan ke kulit mulus Ece.
“Aghh… Sis!” Ece langsung mengerang saat Siska menangkup kedua payudaranya dan meremas- remasnya gemas. Ibu jarinya menggoda puting susu Ece yang mungil kemerahan, membuat Ece jadi makin merintih dan bersandar pasrah.
“Susumu empuk, Ce,” Siska berbisik.
Dia mengamati saat dengan mata melebar, aku memandangi tubuh montok Ece. Bisa kulihat tubuh Ece bergetar saat tangan Siska terus membelai lembut dirinya.
“Kamu suka, Ar?” Siska bertanya dengan jari-jari meluncur turun ke perut Ece.
“Kamu suka lihat aku
giniin Ece?”
“I-iya, Sis,” aku mengangguk.
“Ece tahu, apalagi yang Ardi suka?”
Siska mendesah di telinga Ece.
“A-apa?” Ece merintih.
“Ardi ingin menonton kita saling menjilat, Ce.” Siska menggeram.
“Ah, i-iya,” Ece tampak kesulitan untuk bernapas.
“Sini, mana yang harus kujilat?” Ece meluncur berlutut dan berbalik menghadap Siska.
“Yang ini ya?” Ece memohon.
“Memekmu ini ya?”
Siska tersenyum dengan napas terengah-engah berat.
Ditatapnya Ece yang sekarang berlutut di antara kedua kakinya. Aku berdiri di samping mereka, dengan penis sudah menegak keras di balik celana panjang. Mataku tertuju pada aksi mereka berdua.
“Sini, Ce.” Siska melangkah mundur dan menempatkan dirinya ke sofa.
Celananya dengan mudah meluncur turun, memperlihatkan bagian bawah tubuhnya yang kini telanjang bulat.
Ece tersenyum memandangi memek Siska yang sudah nampak basah dan berkeringat. Ia juga melirikku yang masih berdiri menatap dan tersenyum. Perlahan-lahan Ece merangkak dan menurunkan wajahnya di antara kedua kaki Siska, dan Siska kulihat bergetar begitu merasakan napas hangat Ece di lipatan vaginanya yang sudah sangat basah.
“Ayo, Ce, jilat!” desak Siska tak
tahan.
Ia mengamati ketika Ece mengabulkan permintaannya.
Tubuh istri Anton itu gemetar saat lidah hangat Ece mulai meluncur menyusuri liang vaginanya. Pinggul Siska melengkung dan ia menarik wajah Ece lebih dekat lagi. Saat dia melakukannya, Ece membenamkan wajahnya di antara kedua kaki Siska dan menjilat serta menghisap dengan lebih kuat lagi. Tak lama, ruang tengah pun sudah penuh oleh hiruk-pikuk kenikmatan yang penuh gairah.
“Terus!” teriak Siska. “Jilat terus memekku, Ce!” Dia mendongak menatapku yang tanpa sadar telah mencengkeram tonjolan di celana panjangku.
Siska tersenyum saat melihatku mulai membelai diri sendiri, sementara Ece membenamkan kepalanya semakin dalam di antara kedua pahanya.
“Hisap terus, Ce!” Siska mengerang.
“Jilat itilnya!” ia meminta. Ece menyibak lipatan memek Siska dengan menggunakan bibirnya hingga lidahnya bisa lebih leluasa bergerak di sepanjang dagingnya yang licin.
“Aduh… aduduh!” tubuh Siska bergetar, tangannya menarik wajah Ece lebih keras lagi, sementara pinggulnya semakin menggelinjang hebat.
“Lihat, Ar… Lihat bagaimana Ece menjilati memekku… rasanya nikmat banget… enaknya… oh, aduh… ketika dia… menjilatiku… menjilati memekku!” Semakin bersemangat, lidah Ece terus bergerak liar.
Ia mencucup dan menghisap semakin dalam ke liang vagina Siska yang sudah tak terkira basahnya.
“Oh, Ece,” Siska mengerang.
“Jangan berhenti… aku… ohh…aku…aku… k-keluaa…arrgghh!” Tubuh Siska bergetar.
Dia menjepitkan pahanya di sekitar kepala Ece, memegangi wajahnya perempuan itu hingga makin terkubur ke dalam liang vaginanya.
Saat dunia hilang dalam kabut yang membutakan, Siska menarik kuat rambut Ece, sementara tubuhnya meronta-ronta dalam orgasme yang seperti tiada berakhir. Sampai akhirnya, Siska runtuh kembali ke kursi sofa dengan tubuh masih sedikit gemetar.
Perlahan-lahan, napasnya melambat dan ia membuka mata untuk menatapku.
“Kamu suka pertunjukan ini, Ar?” Siska bertanya padaku.
“Sis,” aku mengerang. “I-ini… wow! S-sungguh hebat… kamu… ah, kalian berdua… tak kusangka…” Aku benar- benar bingung harus berkata apa.
“Mulut Ece benar-benar luar biasa, Ar,” Siska tersenyum.
“Kamu pasti nggak tahan kalau diemut sama dia. Sini, duduk sini. Biar Ece bisa nunjukin ke kamu.”
“I-iya,” aku mengangguk dengan mata melahap lapar melihat tubuh telanjang Ece. Ece cuma tersenyum saja padaku.
“Duduklah di sini,” kata Siska menunjuk tempat kosong di sampingnya. Aku segera menurunkan diri ke sana.
“Ayo, Ce, tunjukin ke Ardi,” Siska berkata.
“Berikan dia jilatanmu yang
yahud itu.” Ece tersenyum saat Siska membungkuk untuk membuka kancing celana panjangku, dan menariknya ke bawah untuk mengungkapkan kontol besarku yang sudah mengeras tegang di balik cd. Ece sedikit memalingkan matanya saat aku membalas tatapannya yang penuh nafsu.
Pelan dia melengkungkan punggungnya untuk menunjukkan kepadaku tonjolan payudaranya yang super besar dan memberiku senyum nakal yang sangat sensual.
Aku melompat sedikit-sedikit sambil meletakkan tangan di lutut saat Siska meluncurkan cd-ku sampai ke paha.
Sementara dia melakukannya, Ece segera meraih batang penisku yang sudah mengeras tajam dan setelah mengocoknya sebentar, ia langsung mengarahkan benda panjang itu ke arah mulutnya.
Siska tampak antusias saat menyaksikan bagaimana Ece menunduk sambil menggetarkan lidahnya untuk menyikat keras batangku. Penuh nafsu Ece mencicipi cairanku yang mulai mengalir keluar. Emutan dan jilatannya memang sungguh luar biasa. Meski sudah sering merasakannya, tak urung tetap membuatku mengerang dengan pinggul melengkung ke arahnya.
Siska tersenyum menikmati reaksiku. Ia membantu dengan melingkarkan jari-jari di sekitar batangku, melilit dan mengocoknya perlahan sementara Ece terus menjilatinya.
“Oh, nikmatnya,” aku mengerang.
Siska tersenyum ke arahku dan meletakkan tangannya yang lain di atas kepala Ece.
“Enak ya, Ar?” tanyanya sambil menyeringai.
“Nikmat banget, Sis,” aku mendesah.
“Terus… kocok dan jilat terus kayak gitu!”
Dengan mata terpejam, Ece terus mengangguk-anggukkan kepalanya naik-turun di batang penisku. Seiring setiap gerakannya, kurasakan hisapannya menjadi semakin dalam.
Siska yang tahu aku sangat menikmati jilatan itu, terus berusaha membantu dengan mendesak kepala Ece lebih ke bawah.
“Ambil semuanya, Ce. Masukin seluruh kontol Ardi ke dalam mulutmu.” Siska mendorong lebih keras dan mendengar Ece sedikit tersedak saat ujung penisku mendorong di tenggorokannya.
Ece mundur sejenak untuk menarik napas, namun membiarkan Siska mendorongnya kembali begitu aku mengerang karena kepingin.
Kugoyang pinggulku agar merasa lebih nikmat, kupenuhi wajah Ece dengan seluruh alat kelaminku. Ece terbatuk-batuk saat tenggorokannya kembali kutusuk-tusuk, namun kali ini tidak bisa menarik mundur karena Siska menahannya.
“Telan semua, Ce! Nggak akan kulepaskan sebelum seluruh kontol Ardi masuk ke dalam mulutmu.” kata Siska.
Ece mengerang seperti ingin memprotes, sementara aku menikmati saja ulah kedua perempuan itu dengan meremasi bulatan payudara mereka secara bergantian.
“Lakukan, Ce, ayo!” terdengar suara Siska saat aku asyik menetek di putingnya, kuhisap-hisap benda mungil sambil kupilin-pilin secara bergantian.
Terus memegangi rambutnya, Siska menarik kepala Ece naik sebelum kemudian menurunkannya lagi lebih keras. Ece sempat menarik napas sejenak agar tidak tersedak, barulah setelah itu dengan susah payah ia menelan seluruh penisku. Aku mendengus dan mengerang. Kuremas-remas payudara besar Ece yang berisi air susu dan kupilin-pilin putingnya sambil mulutku terus menghisap puting mungil Siska yang sebelah kiri.
“Oh… enak, Ce. Terus!” aku mengerang.
“Kamu suka, Ar?” Siska bertanya sambil menciumku, kemudian disuruhnya aku untuk menggarap putingnya lebih keras lagi.
Ece terus menghisap penisku untuk beberapa saat sebelum kemudian ia melepasnya. Terbatuk-batuk sebentar, wajah cantik Ece yang bersemu tampak jadi semakin mempesona. Perempuan itu terduduk lemas di bawah kakiku, deru napasnya masih terengah-engah.
“Mau siapa yang duluan, Ar?” Siska tersenyum bertanya kepadaku, tangannya dengan gemas meraih batang penisku dan meremas-remasnya ringan. Aku melihat ke bawah pada Ece.
“Kamu nggak keberatan kan, Sis, kalau kupakai Ece duluan?” tanyaku singkat.
“Silakan saja,” kata Siska, serak tapi tetap tersenyum.
“Aku akan menikmatinya, Ar. Lakukan apapun yang kamu suka.” Dia menyeringai jahat.
Melengkung seperti kucing, Ece segera berbalik dan mengangkat dirinya dengan bersandarkan pada tangan dan lutut. Ece menyajikan bulatan bokongnya kepadaku, menyuruhku untuk menusuknya dari arah belakang. Tak berkedip aku memperhatikan liang vaginanya yang sudah basah membengkak terjepit di antara belahan pahanya.
“Ayo, Ar.” Ece mendengkur.
“Memekku udah gatel nih, pingin digaruk sama kontolmu. Malah kalau kamu ingin, kamu juga bisa pake lubang pantatku. Yang penting cepat entotin aku!”
Aku melemparkan pandangan bertanya pada Siska. Istri Anton itu tersenyum dan mengangguk.
“Lakukan, Ar, nggak papa,” bisiknya. Dengan kata-kata itu, sambil tersenyum, aku pun berlutut di belakang tubuh montok Ece. Tanganku meraih pinggulnya dan dengan sekali tusukan, kumasukkan penisku ke dalam liang senggamanya. Ece merintih begitu ujung penisku mulai terdorong masuk. Dengan gerakan pinggulnya ia memanduku agar lancar dalam menyusuri liang vaginanya yang sudah sangat basah.
“Auw!” Ece menjerit saat aku mulai menggoyang perlahan untuk menyetubuhinya.
“Enak, Ce!” aku mengerang suka. Kupegangi bulatan payudaranya yang menggantung indah dan kuremas-remas gemas selama aku mengayun-ayunkan pinggul ke depan dan ke belakang.
“Iya, Ar,” Ece mengerang. “Ya, terus! Tusuk lebih keras, Ar. Lebih dalam!”
“Wow, wow!” desis Siska yang menonton dari sofa dengan mata melebar. Ia tampak menikmati persetubuhan kami berdua.
Aku terus menabrak bokong bulat Ece dengan napas mendengus, sementara Ece semakin kuat berteriak dan mendorong kembali pinggulnya dengan gerakan memutar cepat. Membuat penisku bagai dirajam dan dipijat-pijat oleh tangan halus selama dia melakukan itu.
“Oh, Ce,” aku mendengus.
“Kamu apakan kontolku?”
“Ya,” Ece melolong.
“biar kamu tau rasa,” Di belakangku, Siska terus menyaksikan perbuatan kami dengan takjub. Ia tampak suka melihat penisku yang bergerak keluar-masuk di vagina basah Ece, dan tanpa sadar membuatnya meluncurkan jari ke antara kedua kakinya. Pelan Siska mulai menggesek lembut biji klitorisnya yang sangat sensitif.
“Terus, Ar. Bikin dia KO!” Siska geram sementara jari-jarinya menari di permukaan klitorisnya.
“Tusuk lebih keras. Buat dia berteriak.”
“Kau ingin mendengarnya berteriak, Sis?” aku mengerang.
“Aku akan membuatnya berteriak.” Terengah-engah, aku menarik keluar batang penisku dari vagina basah Ece. Benda itu terasa mengejang dan berdenyut-denyut saat kualihkan sasaran ke lubang Ece yang lain.
“Tahan ya, Ce, aku mau masukin ke sini.” Kencang kucengkeram belahan pantatnya dan kubuka lebar-lebar agar lubang anusnya terlihat jelas.
Kuludahi sedikit dengan air liurku sebelum kemudian mulai menekan ujung penisku ke sana.
“Auw!” tubuh mulus Ece tersentak untuk sesaat, dan ia melengking saat aku berusaha terus mendorong.
“Pelan-pelan, Ar.” Ia merintih.
Kulihat perempuan itu mengepalkan tangannya untuk menahan rasa sakit. Dia tampak berjuang keras, sekeras usahaku yang tetap menekan kuat di lubang mungilnya.
Ece terdengar semakin merintih, namun tidak kupedulikan karena sebagian batang penisku sudah meluncur masuk sekarang.
Siska menatap tak berkedip. melihat betapa ketatnya lubang anus Ece yang berusaha kutembus.
“Perlahan-lahan aja, Ar.” bisiknya.
“Biar Ece bisa merasakan kontolmu yang gede itu di bokongnya.”
“Mauku juga begitu, Sis.”
Kukecup bibirnya dan aku kembali mendorong, penisku terasa semakin berdenyut cepat.
“Ouw!” Ece merintih. “Iya, Ar.
Kontolmu gede banget. Bokongku rasanya mau robek!”
Aku tersenyum dan dengan
perlahan terus mendorong semakin dalam. Ece merintih saat seluruh batangku sudah tenggelam sepenuhnya. Siska yang melihat aku sudah berhasil menembus, ikut tersenyum gembira. Sambil memberikan bulatan payudaranya kepadaku, ia menyuruhku untuk mulai menggoyang.
Ece terengah-engah seiring tekananku, kutarik kembali batang penisku dan kutenggelamkan lagi lebih dalam.
“Auw… Ar!” Ece mendesah. “Ya, terus kayak gitu…
ahh!” Dengan berirama, aku menyodok
lambat.
Terus kudorong batang penisku ke dalam pantatbulat Ece. Semakin lama semakin terasa nikmat, dan segera saja tusukanku menjadi semakin cepat. Ece mengerang saat ia mulai kudorong keras, lebih cepat dan lebih dalam lagi kujelajahi bagian sensitifnya.
“Ya begitu, Ar.” Siska mengerang, suaranya kental oleh nafsu.
“Terus tusuk pantatnya. Tusuk keras-keras untukku!” jeritnya.
Aku mulai mendorong liar, menjorok jauh di kedalaman tubuh bugil Ece.
“Ece suka?” aku mengerang sambil meremasi kedua bulatan payudaranya yang berbenturan.
“Iya, Ar. Terus!” rintihnya.
“Terus tusuk pantatku.”
“Lakukan, Ar,” Siska terengah-engah.
“Ooh… tusuk terus… ohhh, aku…!”
“Ece!” Kuberikan satu dorongan terakhir yang sangat kuat dan dalam, dan sambil mengerang, kusemburkan cairan maniku yang sudah kucoba tahan sedari tadi ke dalam pantat bulat Ece.
Perlahan-lahan aku mengundurkan diri begitu cairan kental itu sudah berhenti menetes. Ece runtuh ke karpet ruang tengah dengan napas terengah-engah, seluruh tubuhnya memerah dan bergetar. Sementara Siska terus merintih dengan tangan asyik menggesek di antara kedua kakinya. Kubantu istri Anton itu bermasturbasi dengan meremas-remas dan menjilati kedua putingnya, sampai kemudian Siska berteriak begitu bebannya terlepas.
Cairan orgasmenya menyembur kuat membasahi tubuh bugil Ece yang masih belum dapat bergerak.
Selanjutnya bertiga kami berangkulan di karpet ruang tengah dengan tangan menyentuh tubuh satu sama lain dan tersenyum dengan kesenangan yang aneh.
“Maaf, Ce, kalau tadi aku menyakitimu.” kataku ragu-ragu.
“Ah, enggak kok.” Ece tersenyum hangat.
“Aku malah enak. Malah, aku pengen lagi.”
Siska mendongak, “Tapi nanti ya, Ce. Aku kan belum ngerasain kontolnya Ardi.”
Ece tertawa. “Aku bisa menunggu kok,”
Aku tersenyum pada mereka
berdua.
“Oh, sepertinya aku harus
siap-siap capek nih.”
Situs Judi Online Terpecaya se Indonesia Hanya Ada Di Sini
BalasHapusSAHABATDOMINO
SAHABATDOMINO MEMILIKI PROMO TERBARU SAAT INI :
1. Bonus Rolling 0,5% (SETIAP HARI SENIN)
2. Bonus Refferal 20% ( SECARA OTOMATIS )
3. Minimal Deposit & Withdraw Hanya Rp. 20.000,-
Dengan 1 User ID Anda Sudah Dapat Bermain 8 GAME Sekaligus
1. POKER
2. BANDAR POKER
3. CAPSA SUSUN
4. ADU Q
5. DOMINO QQ
6. BANDAR Q
7. SAKONG
8. BANDAR66
Segera Daftarkan Diri Anda juga !!
Link artenatif kami:
* pusatdomino.com
* murnidomino.com
* slotdomino.com
Untuk informasi Lebih Lengkap, Silakan Hub. Cs kami Di :
LIVECHAT : www.slotdomino.com
WHATSAPP : +6285974599065
PIN BB : 2BE2DD7E
PIN BB : DBFDDEFE